Kamis, 26 Desember 2013

Usaha Ternak Ayam Kampung di Kota Semarang dan Pemilihan Pakan untuk Ternak

Usaha Ternak Ayam Kampung di Kota Semarang dan Pemilihan Pakan untuk Ternak
Unggas merupakan hewan yang paling sering dijumpai oleh manusia. Salah satunya adalah ayam. Ayam yang paling dikenal di kota Semarang yaitu ayam buras atau yang lebih dikenal dengan nama ayam kampung. Ayam buras atau ayam kampung, merupakan salah satu sumber  daya peternakan yang telah lama dimiliki oleh warga Indonesia terutama warga Semarang. Dalam pemeliharaan ayam kampung faktor yang terpenting adalah pemilihan pakan untuk ternak. Hampir 60-80 % dari komponen ternak perlu dipatok untuk pengadaan pakan ini. Biaya pakan ini bisa kita tekan dengan cara menggunakan bahan pakan yang berharga dan  lebih mewah namun mempunyai nilai gizi sama atau lebih dengan pakan ternak yang telah ada sebelumnya.
Salah satu caranya adalah dengan menyusun sendiri ransum pakan ternak dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar kita. Selain lebih menghemat biaya pakan, cara ini juga dapat mempertahankan produksi ternak serta mendatangkan keuntungan bagi ternak.
Ø  BAHAN MAKAN UNTUK PAKAN
Agar memperoleh bahan pakan yang bermutu dan tersedia setiap saat maka diperlukan bahan makanan yang baik dan berasal dari nabati, hewani, atau limbah pertanian seperti :
  • Jagung; dedak halus; ampas kelapa; ubi kayu; beras mentah/gabah; dll. (sumber nabati).
  • Kacang hijau; kedelai; bungkil kalapa; bungkil kedelai; ampas tahu; dll. (sumber protein).
  • Tepung ikan; bekicot; cacing tanah; ulat; kumbang, dll (sumber hewani).
  • Tepung tulang; tepung karang (bahan mineral);
  • Daun lamtoro; daun turi; daun kangkung; rumput alam; daun ubi kayu, daun bayam, dll ( bahan asal hijauan ).
Ø  BEBERAPA FORMULA PAKAN AYAM BURAS
 Formula pakan yang diberikan peternak beraneka ragam, dan pemberiannyapun disesuaikan dengan ketersediaan bahan makanan pada daerah tempat tinggalnya. Untuk wilayah kota Semarang dengan cara menyajikan 2 buah Rakitan Paket Teknologi Pembuatan Pakan Ternak Ayam Buras, yang direkomendasikan dalam rangka peningkatan produksi ayam buras,
a. Formula pakan ayam buras
1. Jagung :                   35 %
2. Kedelai :                  20 %
3. Bekatul :                  30 %
4. Tepung ikan :          10 %
5. Tepung gamal :        3 %
6. Kapur :                    1 %
7. Minyak kelapa :      1 %

Daun gamal dikeringkan, dihancurkan, digiling, dicampur dengan bahan ransum sesuai komposisi.
- Biaya pakan : Rp. 2.400 / kg
- Konsumsi ransum optimal 58,47 gr/ekor/hari
- Konservasi ransum : 3,54 gr/ekr/hari
- Umur anakan ayam 10 -60 hari
- Sistem pemeliharaan intensif
- Skala minimal 100 - 150 ekor
- Penambahan bobot badan 16.52 gr/ekor/hari
- R/C : 2,35
b. Komponen Paket Teknologi Ampas Sagu
1. Jagung :                               65 %
2. Bungkil Kedelai :                24 % ;
3. Tepung ikan :                      5 %
4. Ampas sagu :                       5 %
5. Kapur :                                0.5 %
6. Minyak kelapa :                   0.5 %
Limbah sagu dikeringkan, digiling, dicampur merata dengan pakan sesuai komposisi.
- Biaya pakan Rp. 2.400/kg
- Konsumsi ransum optimal 56.01 gr/ekor/hari
- Konversi ransum : 3,9 gr/ekor/hari
- Umur anakan ayam : 10 - 60 hari
- Sistem pemeliharaan, serta skala minimalnya seperti pada butir “a” diatas
- Pertambahan bobot badan : 14,34 gr/ekor/hari, dengan R/C = 1 : 6
Ø  CARA PEMBERIAN PAKAN
Pemberian pakan ayam buras yang perlu diperhatikan adalah menghindari pakan berhamburan dari wadahnya, dengan cara mengisinya hanya separoh hingga 2/3 bagian ke dalam tempat makanan yang diberikan. Dapat juga pakan dicampur sedikit air hingga membentuk bubur. Pakan diberikan minimal 2 kali sehari yaitu pada pagi hari dan petang hari, air minum perlu disediakan secara tidak terbatas.
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Semarang tahun 2011



Pengolahan Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak Sapi

Pengolahan Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak Sapi

Sapi merupakan hewan yang memproduksi daging paling banyak di kota Semarang. Data statistik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2010 menyatakan bahwa jumlah karkas yang dihasilkan sapi potong di Semarang sejumlah 2.872.467,4  juta/ekor. Untuk menghasilkan jumlah daging yang banyak dan bermutu, sapi memerlukan pakan yang baik pula. Salah satu jenis pakan sapi yang paling banyak ditemui di kota Semarang yaitu jerami padi.  Jerami padi merupakan limbah pertanian yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Besarnya potensi jerami padi sebagai pakan ternak tercermin dari besarnya produksi jerami padi tersebut.
Jerami padi bila digunakan sebagai pakan ternak memiliki kelemahan-kelemahan antara lain : Kadar protein kasar rendah, kadar serat kasar, lignin dan silika tinggi, kadar mineral rendah, kecernaannya rendah serta palatabilitasnya rendah.

Pemanfaatan jerami padi sangat bervariasi antara lain :
• Sebagai pakan baru mencapai 31-39%
• Dibakar atau dikembalikan ketanah 36-62%
• Untuk Industri / lainnya 7-16%
Upaya Peningkatan Kualitas Jerami Padi 
Agar jerami padi dapat digunakan sebagai pakan ternak perlu ditingkatkan kualitasnya dengan : 1.            memperbaiki nilai nutrisi dan kecernaan,
2.         mengoreksi defisiensi jerami dengan menambahkan nitrogen atau mineral,
3.         meningkatkan ketersediaan energi
4.         meningkatkan konsumsi dengan cara memperbaiki palatabilitas,
Untuk itu diperlukan suatu teknologi untuk peningkatan kualitas jerami padi sebagai pakan ternak.Teknologi yang diperlukan haruslah : Mudah dan praktis serta ekonomis
Jerami padi yang telah diolah harus lebih murah atauminimal tidak lebih mahal dari pakan lain dengan nilai gizi yang setara.
·         Peralatan yang digunakan tidak mahal atau yang telah dimiliki oleh peternak
·         Bahan yang digunakan harganya tidak mahal.

AMONIASI JERAMI
Proses amoniasi dengan menggunakan larutan urea  berperan untuk :
Ø Menghidrolisa ikatanlignin-selulosa.
Ø Menghancurkan ikatan hemiselulosa.
Ø Memuaikan atau mengembangkan seratselulosa sehingga memudahkan penetrasi enzim selulosa.
Ø Meningkatkankadar nitrogen sehingga kandungan protein kasar juga meningkat

 MANFAAT AMONIASI
1. Memperkaya kandungan protein 2sampai 4 kali lipat dari kandungan protein semula
2. Meningkatkan daya cerna.  
3. Meningkatkan kuantitas  konsumsi pakan

 CARA PEMBUATAN
1.  Jerami padi ditimbang dan dipotong-potong/ dicacah (5-10 cm)
2.  Ditambahkan urea sebanyak 6 % dari bobot jeramipadi yang digunakan
3.  Disiapkanair bersih sebanding dengan jumlah jerami padi yang digunakan (30% airdigunakan untuk melarutkan urea)
4. Silo (dapat berupalubang di tanah, drum, atau plastik besar) sebelum jerami ditumpuk alas padadasar wadah diberi plastik.
5. Masukkan jerami padi ke silo membentuk lapisan setebal 20 cm,disemprot dengan larutan urea secara merata. Jerami padi disusun dan membentuktumpukan ke atas.
6. Ditutup dengan rapatmenggunakan plastik dan disimpan selama empat  minggu. 
7. Setelah penyimpanan, tutupdibuka dan jerami padi amoniasi dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia.

PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA BIOLOGIS
Adalahpengolahan jerami padi dengan memanfaatkankoloni mikroba tertentu untuk proses fermentasi jerami padi, misalnya starbio.
CARA PEMBUATAN
Jerami padi ditumpuk 30 cm, kalau perlu diinjak-injak lalu ditaburi urea dan starbio masing-masing 0.6 %/berat jeramipadi dan kemudian disiram air secukupnya mencapai kelembaban 60 %, dengantanda-tanda jerami padi diremas, apabila air tidak menetes tetapi tangan basahberarti kadar air mendekati 60 %. 
1. Tahapan point tersebut diulangihingga ketinggian mencapai ketinggian tertentu (minimal 1,5 meter).
2. Tumpukan jerami padidibiarkan selama 21 hari dan tidak perlu dibolak-balik.
3. Setelah 21 hari jerami padi dibongkar laludiangin-anginkan atau dikeringkan.
4.Jerami padi diberikanpada ternak sapi atau dapat disimpan sebagi stok pakan.

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Tengah


Selasa, 24 Desember 2013

INOVASI PROTOTIPE PRODUK NANOENKAPSULASI BIOPRESERVATIF ASAP CAIR SEBAGAI PENGAWET PANGAN ALAMI

INOVASI PROTOTIPE PRODUK NANOENKAPSULASI
           BIOPRESERVATIF ASAP CAIR SEBAGAI PENGAWET PANGAN ALAMI

                                                                       Disusun Oleh :
                                     
                                                         Nama              : Mufidah Zaen

                                                         NIM                : 23010113140181
                             
                                                         Kelas               : D
                                                                         
                                                         Program Studi  : S1-Peternakan

 Purnama Darmadji1, Satrijo Saloko2, Bambang Setiaji3, dan Yudi Pranoto1
1Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
2Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram
3Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada
Disajikan 29-30 Nop 2012


ABSTRAK
Asap cair tempurung kelapa berpotensi sebagai pengawet makanan alami karena mengandung senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba. Enkapsulasi asap cair tempurung kelapa dengan kitosan-maltodekstrin berdimensi nanopartikel dapat mempertahankan sifat fungsional. Studi ini meneliti fenol total, karbonil dan asam dalam asap cair tempurung kelapa di berbagai formulasi. Chitosan-maltodekstrin (CS-MD) nanopartikel disiapkan dengan penambahan natrium tripolifosfat 1,0% (TPP) ke dalam larutan asap cair. Sampel yang terdiri dari CS-MD nanopartikel dalam asam asetat 1,0% tanpa asap cair digunakan sebagai kontrol. CS-MD nanopartikel juga dievaluasi pada temperatur tinggi (40 dan 50˚C) selama 15 menit. CS-MD nanopartikel dengan asap cair menghasilkan kisaran kandungan total fenol 1,54%-1,85%, total berkisar karbonil dari 13,48%-19,32% dan total asam (% asam asetat) berkisar antara 9,29%-10,33%. Sedangkan, kontrol CS-MD nanoparicles tanpa asap cair tempurung kelapa menunjukkan karbonil fenol dan total jumlah terdeteksi, total asam (% asam asetat) 1,71%. Konsentrasi kitosan (1,5%) dalam asap cair memberikan nilai terendah diamati untuk semua parameter. Kerataan ukuran partikel terlihat menurun ketika suhu udara masuk meningkat. Kepadatan curah, kadar air dan aktivitas air dari bubuk cenderung menurun dengan kenaikan temperatur udara masuk. Namun, hasil bubuk meningkat dengan meningkatnya temperatur udara yang masuk. Selain itu, morfologi permukaan halus saat bola untuk semua bubuk tapi kenampakan permukaan yang lebih dalam dan partikel keriput untuk suhu udara masuk yang tinggi terutama dalam larutan kitosan asli.
Kata Kunci: Asap cair tempurung kelapa, fenol, nanoenkapsulasi, chitosan, maltodekstrin, spray drying.


BAB I. PENDAHULUAN
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari pirolisis kayu.[1] Menurut Pszczola (1995)[2] destilat asap cair didefinisikan sebagai kondensat cair alami dari asap kayu yang telah mengalami aging dan filtrasi untuk memisahkan senyawa tar dan bahan-bahan tertentu. Foster dan Simpson[3] menjelaskan bahwa asap merupakan sistem yang kompleks yang mengandung fase dispersi cairan dengan diameter partikel dalam asap sekitar 0,1m dan medium dispersi berupa gas (uap asap). Tranggono et al.[4] menyatakan sifat-sifat asap cair dari berbagai kayu dan tempurung kelapa mempunyai citarasa yang disukai. Mutu dan kualitas asap yang dihasilkan tergantung dari jenis kayu, kadar air dan suhu pembakaran dalam proses pengasapan. Asap cair tempurung kelapa secara fisik berwarna kecoklatan.
Penggunaan asap cair mempunyai kelebihan khusus yaitu flavor produk lebih seragam, konsentrasi dapat diatur sesuai keinginan, senyawa yang berbahaya dapat dipisahkan sebelum digunakan pada makanan, mengurangi pencemaran lingkungan dan komposisi asap cair lebih konsisten untuk pemakaian yang berulang-ulang. Di Indonesia keamanan produk ini telah masuk dalam SNI 01-7152-2006 tentang Bahan Tambahan Pangan Persyaratan Perisa dan Penggunan
dalam Produk Pangan. Menurut FDA, penggunaan redistilat asap cair pada produk pangan dikategorikan sebagai GRAS yaitu produk yang aman untuk dikonsumsi (Hogan dan Hartson[5]). Asap cair mengandung senyawa kelompok fenol, karbonil dan asam. Ketiga
senyawa tersebut secara simultan dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrobia serta memberikan pengaruh terhadap warna dan citarasa khas asap pada produk pangan (Maga[1]). Girard[6] mengemukakan bahwa lebih dari 300 senyawa dapat diisolasi dari asap kayu secara keseluruhan yang jumlahnya lebih dari 1000,dan senyawa tersebut diidentifikasi dalam asap dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. 
Senyawa fenol bertanggung jawab pada pembentukan flavor pada produk pengasapan dan juga mempunyai aktivitas antioksidan yang mempengaruhi daya simpan produk pangan (Girard[6]) di samping itu fenol juga memberikan konstribusi dalam pewarnaan produk asapan (Ruiter[7]). Senyawa fenol juga mempunyai arti penting yang menunjukkan aktivitas antimikrobia (Barylko dan Pikielna[8]). Kadar fenol bervariasi antara 2,10-2,13% tergantung pada macam dan bentuk kayu (Tranggono et al.[4]).
Senyawa-senyawa karbonil yang terdapat di dalam asap cair meliputi formaldehid, glikoaldehid, metilglioksal, diasetil, furfural, aseton dan hidroksiaseton. Glikoaldehid dan metilglioksal merupakan bahan pencoklat yang aktif dengan gugus amin, tetapi aseton memiliki potensi pencoklatan yang lebih rendah. Formaldehid mudah bereaksi dengan gugus aminnya tanpa menaikkan intensitas warna coklat (Ruiter[7]). Warna produk asapan disebabkan adanya interaksi antara karbonil dengan gugus amin (Girard[6]). Kandungan senyawa karbonil dari berbagai jenis kayu bervariasi antara 8,56-15,23% (Tranggono et al.[4]). Asam-asam yang ada di dalam distilat asap cair meliputi asam format, asetat, propionat, butirat, valerat dan isokaproat. Asam-asam yang berasal dari asap cair dapat mempengaruhi flavor, pH dan umur simpan
makanan (Pszczola[2]). Senyawa asam terutama asam asetat mempunyai aktivitas antimikrobia dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal. Asam asetat bersifat mampu menembus dinding sel dan secara efisien mampu menetralisir gradien pH transmembran. Keasaman (dihitung sebagai % asam asetat) asap cair dari berbagai kayu bervariasi antara 4,27-11,39% (Tranggono et al.[4]).
Peningkatan sifat-sifat fungsional asap cair perlu dikembangkan melalui teknologi yang dapat melindungi dengan cara mengenkapsulasi dalam suatu enkapsulan pada ukuran yang sangat kecil pada skala nano yaitu berkisar antara 0-1000 nm (Carvajal et al.;[9] Chaudhry et al.[10]). Dibandingkan dengan teknik mikroenkapsulasi, maka nanoenkapsulasi produk pangan akan memberikan beberapa keunggulan diantaranya dalam hal peningkatan rasa, warna, tekstur, flavor, konsistensi produk, absorpsifitas dan ketersediaan komponen bioaktif (Greiner[11]). Pemilihan enkapsulan untuk mendapatkan ukuran nano sangat menentukan keberhasilan nanoenkapsulasi, selain itu enkapsulan harus food grade dan GRAS (Anal, 2010). Diantara enkapsulan yang memenuhi criteria tersebut adalah kitosan dan maltodekstrin (Wandrey et al.[13]). Kitosan telah dikembangkan sebagai pengawet alami menggantikan formalin karena mampu menginaktifkan bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus (Darmadji dan Izumimoto;[14] Kanatt et al.; Pranoto dan Rakshit[15]), di samping itu kitosan mempunyai sifat sebagai antioksidan (Feng et al.[16]), dan memberikan perlindungan terhadap inti (Honarkar dan Barikani;[17] Kong et al.[18]). Sedangkan maltodekstrin mempunyai kelarutan tinggi, tidak mempunyai rasa dan aroma. (Desobry et al.;[19] Tax et al.;[20] Righetto and Netto[21]). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat meningkatkan kadar fenol dan antosianin selama pengolahan tepung ubi jalar ungu (Ahmed et al.[22]).
Kombinasi kitosan dan maltodekstrin pada proses enkapsulasi diharapkan akan menghasilkan enkapsulan yang berdimensi nano. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian tentang enkapsulasi asap cair tempurung kelapa berbasis teknologi nanopartikel. Diharapkan, nanokapsul yang dihasilkan
dari kombinasi redistilat asap cair dan kitosan akan mempunyai daya pengawet yang tinggi dan memudahkan pilihan dalam pengawetan pangan yang aman dan alami.


BAB II. METODOLOGI
A.        Bahan dan alat
Tempurung kelapa diperoleh dari limbah hasil olahan kopra di beberapa sentra di Provinsi DIY yang diproses menjadi asap cair di PT. Tropica Nucifera Industry Sleman-Yogyakarta. Kitosan (DD 91,5%) dari PT. Biotech Surindo, Cirebon. Maltodekstrin (DE 10,8%)
dari Grain Processing Corp. (Iowa, USA). Bahan kimia yang digunakan antara lain H2SO4 72%, 1 N larutan fenol standar, Na2CO3 jenuh, pereaksi Folin-Ciocalteu, asam asetat, Sodium tripolyphosphate (TPP) (Sigma Co., St. Louis), aseton, 2,4 dinitrofenilhidrazin, HCl pekat, KOH 1 N, asam oksalat, indikator PP (1% dalam methanol) dan NaOH 0,1 N.
Alat-alat ekstraksi, pirolisator, destilator, penyaring vakum, sentrifius tipe Damon/IEC,
spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1601 dan ultra turrax homogenizer T50 IKA WERKE, Water bath merk Julanbo, buret dan statifnya, pH meter Schott, dan peralatan gelas untuk analisis.

B.        Cara Penelitian
Pembuatan redistilat asap cair dari tempurung kelapa melalui proses pirolisis dengan suhu 400˚C, dan kondensasi hingga tidak terdapat lagi asap cair yang menetes. Pemisahan asap cair dari tar dilakukan melalui pengendapan selama 24 jam. Setelah itu, crude asap cair yang dihasilkan didistilasi menggunakan distilator pada suhu 98˚C. Distilat asap cair yang dihasilkan
dilakukan proses redistilasi pada suhu 98˚C. Redistilat asap cair yang diperoleh diidentifikasi profil senyawa penyusun meliputi kadar fenol (Senter[23]), total asam, pH (titrasi, AOAC, 2008), karbonil (Lappin dan Clark[24]), dan profil senyawa asap cair (GC-MS) menggunakan metode Tonogai et al.[25] yang telah dimodifikasi.

C.        Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yaitu menggunakan perlakuan perbandingan enkapsulan (maltodekstrin dan kitosan) dengan redistilat asap cair (total padatan 10%). Adapun perbandingan tersebut terdiri 5 perlakuan yaitu:
1. F1 = Asam asetat 1,0%: kitosan (0,5%): maltodekstrin (9,5%)
2. F2 = Redistilat asap cair: kitosan (0%): maltodekstrin (10,0%)
3. F3 = Redistilat asap cair: kitosan (0,5 %): maltodekstrin (9,5%)
4. F4 = Redistilat asap cair: kitosan (1,0 %): maltodekstrin (9,0%)
5. F5 = Redistilat asap cair: kitosan (1,5 %): maltodekstrin (8,5%)

Dispersi nanopartikel kontrol dan asap cair tersebut ditambahkan TPP 1,0% kemudian dilakukan pemanasan menggunakan water bath (pada suhu T1 = 40˚Cdan T2 = 50˚C) selama 30 menit, perlakuan tanpa pemanasan digunakan sebagai kontrol, kemudian larutan dihomogenisasi menggunakan ultra thurax homogenizer pada kecepatan homogenisasi 4000 rpm selama 2,5 menit. Parameter yang dianalisis adalah total fenol, total karbonil, dan total asam. Setiap kombinasi perlakuan yang dicobakan diulang 3 (tiga) kali. Data parameter yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan MINITABS 16.0 dengan metoda OneWay Anova dengan uji jarak Tukey dengan tingkat signifikansi 5% (Trihendradi, 2009).


BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis komponen redistilat asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada TABEL 1.
Komponen
Kandungan
Benzopyrene (ppm)
Tidak Terdeteksi
Fenol (%)
2,08
Karbonil (%)
10,83
Total Asam (%)
997
pH
2,54
Sedangkan Profil komponen senyawa volatil dari redistilat asap cari tempurung kelapa yang dianalisis menggunakan GC-MS disajikan pada GAMBAR 1.Dari TABEL 1 menunjukan bahwa redistilat asap cair yang digunakan komponen benzopyrene tidak terdeteksi dalam kadar ppm yang mengindikasikan bahwa redistilat asap cair tidak bersifat karsinogen. Sedangkan komponen lain seperti fenol, karbonil, asam dan Ph kandungannya berada pada kisaran kandungan kayu keras seperti Jati, Mahoni, Kamper, Bengkirai (Tranggono et al., 1999) dan pada tempurung kelapa hibrida (Kadir et al., 2012).

dan hasil identifikasi GC-MS senyawa volatil redistilat asap cair tempurung kelapa disajikan pada TABEL 2
NO.
Nama              Senyawa
Relatif Komponen (%)
Berat Molekul
Rumus   Molekul
Indeks Kemiripan
1
Metil Asetat
5,00
74
C3H6O2
96
2
Metanol
16,22
32
CH4O
98
3
Nikel Karbonil
0,15
170
C4Ni8O4
90
4
2,3- Pentanol
0,47
86
C5H10O
85
5
1,2-Hidroksi  propan
1,80
74
C3H6O2
97
6
1,2- Siklopentan
0,75
82
C5H6O
91
7
1,2- Hidroksi Butan
1,82
88
C4H8O2
89
8
Etil Asetat
49,78
60
C2H4O2
99
9
2- furan karboksil aldehid
1,47
96
C5H4O2
97
10
1,2- furanil etanon
0,21
110
C6H6O2
90
11
Asam propanoat
1,44
74
C3H6O2
88
12
2- Metoksi fenol
2,15
124
C7H8O2
94
13
1,4- Dimetoksi benzene
0,53
138
C8H10O2
89
14
Fenol
17,11
94
C6H6O
95
15
4-etil, 2- metoksi fenol
0,16
152
C9H1202
86
16
4-Metoksi fenol
0,61
108
C7H8O
89
17
2-Metoksi fenol
0,33
108
C7H80
85
Hasil interpretasi komponen volatil dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis spectrometer massa setiap sampel dengan data base komputer yakni Wiley7Nist05 yang menyimpan sejumlah besar data spektra massa dari senyawa murni yang telah diketahui.
Dari hasil terebut, senyawa yang menyusun komponen asap cair pada delapan menit pertama didominasi oleh metil asetat, metanol, hidroksi propan, hidroksi butan dan etil asetat. Hasil analisis komponen fenol, karbonil dan asam dari redistilat asap cair tempurung kelapa setelah diproses menggunakan teknologi nanopartikel yaitu penambahan kitosan dan maltodekstrin pada berbagai formulasi disajikan pada TABEL3.


Formulasi Bahan
Fenol (%)
Karbonil (%)
Asam Asetat (%)
F1
0.00 a
0.00 a
1.71 ± 0.09 a
F2
1.70 ± 0.11 b
18.53 ± 0.56 b
10.33 ± 0.57 b
F3
1.67 ± 0.11 c
16.50 ± 0.49 c
10.11 ± 0.53 b
F4
1.64 ± 0.11 d
15.22 ± 0.59 d
9.73 ± 0.20 c
F5
1.63 ± 0.11 d
13.87 ± 0.29 e
9.29 ± 0.33 d
a;b;c;d;e Menunjukan nilai pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (p <0.05).

Senyawa fenol di samping memiliki peranan dalam pembentukan warna dan aroma juga menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri dan antioksidan. Pada formulasi perlakuan F1 kandungan fenol tidak terdeteksi,karena pada perlakuan ini kitosan dengan konsentrasi 0,5% dari total padatan 10% dilarutkan dalam larutan asam asetat 1% sehingga di dalam larutan nanopartikel tersebut tidak mengandung fenol. Demikian juga pada kandungan karbonilnya. Sedangkan kandungan asam (sebagai % asam asetat) mengandung jumlah yang sedikit dibandingkan perlakuan yang lain. Sebaliknya, pada perlakuan F2 (redistilat asap cair) mengandung fenol lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lain karena pada F2 tidak terdapat penambahan kitosan, hanya penambahan maltodektrin sebanyak 10%. Kandungan fenol untuk semua formulasi perlakuan lebih rendah dari asap cair karena asap cair merupakan total dari fenol. Secara keseluruhan, semakin tinggi konsentrasi kitosan terjadi kecenderungan penurunan fenol maupun karbonil. Hal ini disebabkan kitosan mempunyai sifat sebagai adsorber yang dapat menyerap komponen bioaktif sperti fenol dan karbonil yang larut dalam air (Billmeyer[27]). Selain itu dengan adanya senyawa asam akan mempengaruhi kandungan dari fenol. Asam dapat mengkatalisa fenol. Kelarutan fenol akan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan asam. Jika kadar asam tidak cukup tinggi maka ada kemungkinan fenol yang terkatalisa akan sedikit sehingga akan mempengaruhi kadar fenol.
Senyawa karbonil (aldehid dan keton) berperan dalam pembentukan warna dan aroma pada asap sedangkan efeknya pada cita rasa kurang menonjol. Warna produk asapan disebabkan adanya interaksi antara karbonil dengan gugus amino (Girard[6]). Kandungan senyawa karbonil dari furmulasi F2 mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingan perlakuan yang lain yaitu sebesar 18.53%. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Tranggono et al.[4] pada tempurung kelapa sebesar 13,28%.
Asam merupakan senyawa yang berperan sebagai antibakteri dan juga memberi citarasa produk asapan secara keseluruhan. Kadar asam tertinggi diperoleh dari formulasi F2 (asap cair, tanpa kitosan dan maltodekstrin (10%) diikuti perlakuan lain dimana persentase penambahan kitosan semakin tinggi. Kandungan asam didominasi asam organik dengan 1 sampai 10 atom karbon merupakan penyusun asap secara keseluruhan. Hanya asam beratom karbon satu sampai empat saja yang banyak dijumpai pada fase uap dalam asap, sedang yang berantai 5 sampai 10 berada di fase partikel asap (Porter et al.[28]). Jadi asam-asam format, asetat, propionat, butirat dan isobutirat terdapat pada fase uap asap, sedang asam-asam valerat, isovalerat, kaproat, heptilat, nonilat dan kaprat berada di fase partikel asap. Menurut Tilgner et al.[28] dalam Girard,[6] jumlah asam merupakan 40% dari distilat kondensat asap.
Asam-asam yang ada di dalam distilat asap cair meliputi asam format, asetat, propionat, butirat, valerat dan isokaproat. Asam-asam yang berasal dari asap cair dapat mempengaruhi flavor, pH dan umur simpan makanan (Pszczola[2]). Senyawa asam terutama
asam asetat mempunyai aktivitas antimikrobia dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal.



Dari GAMBAR 3 menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam ukuran dan bentuk. Nanocapsules dari kitosan menunjukkan penyusutan dan berlesung pipit, sementara asap cair asli menunjukkan bentuk bulat, permukaan halus tanpa penyok yang jelas, dan campuran bubuk asap cair menunjukkan bentuk bola dengan luas permukaan penyok. Pembentukan permukaan penyok semprot-kering partikel ini disebabkan oleh penyusutan partikel selama proses pengeringan (Chin et al.[30]). Yang luas penyok permukaan kitosan asli dalam larutan asam asetat itu mungkin disebabkan granula maltodexrtin terganggu mengakibatkan lebih rentan terhadap penyusutan selama tahap pengeringan. Patel et al.[31] menyarankan bahwa partikel semprot kering dalam bentuk bola memiliki rasio tinggi permukaan/volume menunjukkan karakter yang tepat dari produk kering semprot. Reineccius[32] merekomendasikan bahwa partikel dalam bentuk bola dapat mempertahankan jumlah tertinggi bahan terkapsul.
Dalam penelitian ini, dapat disarankan dari mempertimbangkan bentuk bubuk yang kitosan dan maltodekstrin adalah bahan dinding yang tepat. Distribusi ukuran partikel bubuk CS dan MD nanopartikel ditunjukkan pada GAMBAR 4.

 Rata-rata ukuran partikel yang terbentuk dari CS (0,5% b/v) + MD (9,5% b/v) dalam asam asetat adalah 16.21 nm, hanya MD (10% b/v) dalam asap cair tempurung kelapa diamati 14,87 nm, dan CS (1,5% b/v) + MD (8,5% b/v) dalam asap cair tempurung kelapa diamati 13,43 nm. Dalam proses ionik pembentukan nanopartikel CS adalah pH responsif, memberikan kesempatan untuk memodulasi sifat nanopartikel CS. Perbedaan potensial zeta dengan perubahan pH menunjukkan, pada pH yang lebih tinggi partikel lebih cross-linked dibandingkan dengan pH rendah. Zhang et al.,[33] mengamati, ketika komersial chitosan berat molekul rendah digunakan untuk menyiapkan nanopartikel CS pada konsentrasi 0,1% (b/b) dari CS dan TPP (berat rasio 5:1) menghasilkan distribusi ukuran partikel bimodal dari kisaran 153 dan 500 nm. Interaksi antara kelompok fenolik asap cair dan kelompok amino dari CS (lebih gugus fosfat dari TPP) dapat menyebabkan penurunan kepadatan silang (Hu et al.[34]).

                                             BAB IV. KESIMPULAN
Kandungan fenol, karbonil dan asam cenderung semakin menurun dengan semakin tingginya prosentase penambahan kitosan, namun enkapsulasi redistilat asap cair tempurung kelapa berbasis teknologi nanopartikel masih menghasilkan kisaran komponen bioaktif dari redistilat asap cair semula.

                                               
                                                  DAFTAR PUSTAKA
[1] Maga, J., 1987. Smoke and Food Processing. CRC Press Inc., Florida.
[2] Pszczola, D.E., 1995, Tour Highlight Production and Uses of Smoke Based Flavors, Food Tech, 49 (1): 70-74.
[3] Foster, W.W. and T. H. Simpson, 1961. Studies of  The Smoking Process For Foods I: The Importance of Vapours. J. Sci. Food Agric.. Vol. 12 (5): 363-374.
[4] Tranggono; Suhardi; B. Setiadji; P. Darmadji; Supranto dan Sudarmanto, 1999. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol 1 No. 2.
[5] Hogan dan Hartson, 1999. Office of Premarket Approval Center for Food Safety and Applied Nutrition Food and Drug Administration 200 C Street SW Washington, D.C. 20204
[6] Girard, J.P., 1992. Technology of Meat and Meat Products, Ellis Horwood, New York.
[7] Ruiter, A., 1979. Color of Smoke Food. Food Tech., 33 (5): 54-63
[8] Barylko, N., and Pikielna, 1978. Contribution of Smoke Compunds to Sensory Bacteriostatic and Antioxidative Effect in Smoked Foods. Pure And Appl.Chem.,49: 1667-1671, Pergamon Press, Oxford
[9] Carvajal-Quintanilla, M.X.; B. H Camacho-Diaz; L.S Meraz-Torres; J.J. Chanona-Perez; L. Alamilla- Beltran; A. Jimenez-Aparicio; G.F. Gutierrez- Lopez. 2010. Nanoencapsulation: A New Trend in Food Engineering Processing. Food Eng Rev 2: 39 -50
[10] Chaudhry, Q.; L. Castle and R. Watkins, 2010. Nanotechnologies in Food. The Food and Environment Research Agency. The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science Park, Milton Road, Cambridge CB4 0WF, UK
[11] Greiner, R., 2009. Current and projected applications of nanotechnology in the food sector. Nutrire: rev. Soc. Bras. Alim. Nutr. = J. Brazilian Soc. Food Nutr., So Paulo, SP, v. 34, n. 1, p. 243-260.
[12] Anal, A. K., 2010. Microencapsulation And Application In Delivery Of Bioactives In Foods. Innovative Science: Agriculture And Food Edition: 34-40. ISSN 2009-3314
[13] Wandrey, C.; A. Bartkowiak and S. E. Harding., 2010. Materials for Encapsulation. In Encapsulation Technologies for Active Food Ingredients and Food Processing. Zuidam, N. J. and V. A. Nedovic (Eds.). Springer New York Dordrecht Heidelberg London. pp. 31-100
[14] Darmadji, P., and Izumimoto, M., 1994. Effect of Chitosan in Meat Preservation. Meat Sctenee 38: 243-254
[15] Pranoto, Y. dan S.K. Rakshit, 2008. Effect of Chitosan Coating Containing Active Agent on Microbial Growth, Rancidity and Moisture Loss of Meatball During Storage. Agritech, Vol. 28 (4): 167-173.
[16] Feng, T.; Y. Du; J. Li; Y. Wei, 2007. Antioxidant activity of half N-acetylated water-soluble chitosan in vitro. Eur Food Res Technol 225:133-138
[17] Honarkar, H. and M. Barikani, 2009. Applications of biopolymers I: chitosan. Monatsh Chem 140: 1403-1420
[18] Kong, M; X. G. Chen; K. Xing and H. J. Park. 2010. Antimicrobial properties of chitosan and mode of action: A state of the art review. International Journal of Food Microbiology 144: 51-63.
[19] Desobry, S. A., Netto, F.M. and Labuza, T. 1997. Comparison of spray drying, drum drying, and freeze drying for beta carotene encapsulation and preservation. Journal of Food Science 62: 1158- 1162.
[20] Tax, D.C.M.A., De Menezes, H.C., Santos, A.B. and Grosso, C.R.F. 2003. Study of the microcapsulation of camu-camu (Myrciaria dubia) juice. Journal of  Microcapsulation 20: 443-448.
[21] Righetto, A.M. and Netto, F.M. 2005. Effect of encapsulation materials on water sorption, glass transition, and stability of juice from immature acerole. International Journal of Food Properties 8: 337-346.
[22] Ahmed, M.; M. S. Akter; J. Lee, and J. Eun, 2010. Encapsulation by spray drying of bioactive components, physicochemical and morphological properties from purple sweet potato. Food Science and Technology 43:1307-1312
[23] Senter, S.D.; J.A Robertson and F.I. Meredith, 1989. Phenolic Compound of The Mesocarp of Cresthauen Peaches During Storage and Ripening. J. Food Sci. 54: 1259-1268
[24] Lappin, G.R. and L.C. Clark, 1951. Colorimetric methods for Determination of Trace Carbonyl Compound. Analytical Chemistry, 23: 541-542
[25] Trihendradi C., 2009. Step by Step SPSS 17 Analisis Data Statistik. Andi Offset, Yogyakarta. [26] Kadir, S., Darmadji, P., Hidayat, C. and Supriyadi. 2012. Profile liquid smoke aroma of coconut shell product at various temperatures using multistage distilation vessel. Agritech 32: 105-109. [27] Billmeyer, Jr. F. W. 1994. Book of Polymer Science, JohnWilley and Sons, Inc, Singapore.
[28] Porter, R.W., L.J. Bratzler and A.M. Pearson.1965. Fractionation and Study of Compounds in Wood Smoke. J. Food Sci., (30): 615-619
[29] Tonogai, Y.; S. Ogawa; M. Toyoda; Y. Ito and M. Iwaida, 1982. Rapid Flourometric Determination of Benzo(a)pyrene in Food. J. of Food Prot. Vol 45 (2): 139-142.
[30] Chin S, Nazimah SAH, Quek S, Man YBC. 2010. Effect of thermal processing and storage condition on the flavour stability of spray-dried durian powder. LWT-Food Science and Technology 43: 856-861 doi:10.1016/j.lwt.2010.01.001
[31] Patel RP, Patel MP, Suthar AM. 2009. Spray drying technology: an overview. Indian J. Sci Tech 2 (10): 44-47
[32] Reineccius GA. 1988. Spray-drying of food flavors. In Risch SJ, Reineccius GS. (Eds.), Flavor encapsulation. ACS Symposium Series, 370. P.55-66. Washington, DC: American Chemical Society.
[33] Zhang H, Oh M, Allen C, Kumacheva E. 2004. Monodisperse chitosan nanoparticles for mucosal drug delivery. Biomacromolecules 5(6):2461-2468. doi: 10.1021/bm0496211
[34] Hu B, Pan C, Sun Y, Hou Z, Ye H, Zeng X. 2008. Optimization of fabrication parameters to
produce chitosan-tripolyphosphate nanoparticles for delivery of tea catechins. J Agric Food Chem 56(16):7451-7458. doi: 10.1021/jf801111c