INOVASI
PROTOTIPE PRODUK NANOENKAPSULASI
BIOPRESERVATIF
ASAP CAIR SEBAGAI PENGAWET PANGAN ALAMI
Disusun Oleh :
Nama : Mufidah Zaen
NIM : 23010113140181
Kelas : D
Program Studi : S1-Peternakan
Purnama Darmadji1, Satrijo Saloko2,
Bambang Setiaji3, dan Yudi Pranoto1
1Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Gadjah Mada
2Fakultas Teknologi Pangan dan
Agroindustri Universitas Mataram
3Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK
Asap
cair tempurung kelapa berpotensi sebagai pengawet makanan alami karena
mengandung senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba.
Enkapsulasi asap cair tempurung kelapa dengan kitosan-maltodekstrin berdimensi
nanopartikel dapat mempertahankan sifat fungsional. Studi ini meneliti fenol
total, karbonil dan asam dalam asap cair tempurung kelapa di berbagai
formulasi. Chitosan-maltodekstrin (CS-MD) nanopartikel disiapkan dengan
penambahan natrium tripolifosfat 1,0% (TPP) ke dalam larutan asap cair. Sampel
yang terdiri dari CS-MD nanopartikel dalam asam asetat 1,0% tanpa asap cair
digunakan sebagai kontrol. CS-MD nanopartikel juga dievaluasi pada temperatur
tinggi (40 dan 50˚C) selama 15 menit. CS-MD nanopartikel dengan asap cair
menghasilkan kisaran kandungan total fenol 1,54%-1,85%, total berkisar karbonil
dari 13,48%-19,32% dan total asam (% asam asetat) berkisar antara 9,29%-10,33%.
Sedangkan, kontrol CS-MD nanoparicles tanpa asap cair tempurung kelapa
menunjukkan karbonil fenol dan total jumlah terdeteksi, total asam (% asam
asetat) 1,71%. Konsentrasi kitosan (1,5%) dalam asap cair memberikan nilai
terendah diamati untuk semua parameter. Kerataan ukuran partikel terlihat
menurun ketika suhu udara masuk meningkat. Kepadatan curah, kadar air dan
aktivitas air dari bubuk cenderung menurun dengan kenaikan temperatur udara
masuk. Namun, hasil bubuk meningkat dengan meningkatnya temperatur udara yang
masuk. Selain itu, morfologi permukaan halus saat bola untuk semua bubuk tapi
kenampakan permukaan yang lebih dalam dan partikel keriput untuk suhu udara
masuk yang tinggi terutama dalam larutan kitosan asli.
Kata
Kunci: Asap
cair tempurung kelapa, fenol, nanoenkapsulasi, chitosan, maltodekstrin, spray
drying.
BAB I. PENDAHULUAN
Asap cair
merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air
yang diperoleh dari pirolisis kayu.[1] Menurut Pszczola (1995)[2] destilat asap
cair didefinisikan sebagai kondensat cair alami dari asap kayu yang telah
mengalami aging dan filtrasi untuk memisahkan senyawa tar dan bahan-bahan
tertentu. Foster dan Simpson[3] menjelaskan bahwa asap merupakan sistem yang
kompleks yang mengandung fase dispersi cairan dengan diameter partikel dalam
asap sekitar 0,1m dan medium dispersi berupa gas (uap asap). Tranggono et
al.[4] menyatakan sifat-sifat asap cair dari berbagai kayu dan tempurung kelapa
mempunyai citarasa yang disukai. Mutu dan kualitas asap yang dihasilkan
tergantung dari jenis kayu, kadar air dan suhu pembakaran dalam proses
pengasapan. Asap cair tempurung kelapa secara fisik berwarna kecoklatan.
Penggunaan
asap cair mempunyai kelebihan khusus yaitu flavor produk lebih seragam,
konsentrasi dapat diatur sesuai keinginan, senyawa yang berbahaya dapat
dipisahkan sebelum digunakan pada makanan, mengurangi pencemaran lingkungan dan
komposisi asap cair lebih konsisten untuk pemakaian yang berulang-ulang. Di Indonesia
keamanan produk ini telah masuk dalam SNI 01-7152-2006 tentang Bahan Tambahan
Pangan Persyaratan Perisa dan Penggunan
dalam Produk Pangan. Menurut FDA,
penggunaan redistilat asap cair pada produk pangan dikategorikan sebagai GRAS
yaitu produk yang aman untuk dikonsumsi (Hogan dan Hartson[5]). Asap cair
mengandung senyawa kelompok fenol, karbonil dan asam. Ketiga
senyawa tersebut secara simultan
dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrobia serta memberikan pengaruh
terhadap warna dan citarasa khas asap pada produk pangan (Maga[1]). Girard[6]
mengemukakan bahwa lebih dari 300 senyawa dapat diisolasi dari asap kayu secara
keseluruhan yang jumlahnya lebih dari 1000,dan senyawa tersebut diidentifikasi
dalam asap dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok.
Senyawa
fenol bertanggung jawab pada pembentukan flavor pada produk pengasapan dan juga
mempunyai aktivitas antioksidan yang mempengaruhi daya simpan produk pangan
(Girard[6]) di samping itu fenol juga memberikan konstribusi dalam pewarnaan produk
asapan (Ruiter[7]). Senyawa fenol juga mempunyai arti penting yang menunjukkan
aktivitas antimikrobia (Barylko dan Pikielna[8]). Kadar fenol bervariasi antara
2,10-2,13% tergantung pada macam dan bentuk kayu (Tranggono et al.[4]).
Senyawa-senyawa
karbonil yang terdapat di dalam asap cair meliputi formaldehid, glikoaldehid,
metilglioksal, diasetil, furfural, aseton dan hidroksiaseton. Glikoaldehid dan
metilglioksal merupakan bahan pencoklat yang aktif dengan gugus amin, tetapi
aseton memiliki potensi pencoklatan yang lebih rendah. Formaldehid mudah
bereaksi dengan gugus aminnya tanpa menaikkan intensitas warna coklat
(Ruiter[7]). Warna produk asapan disebabkan adanya interaksi antara karbonil dengan
gugus amin (Girard[6]). Kandungan senyawa karbonil dari berbagai jenis kayu
bervariasi antara 8,56-15,23% (Tranggono et al.[4]). Asam-asam yang ada di
dalam distilat asap cair meliputi asam format, asetat, propionat, butirat,
valerat dan isokaproat. Asam-asam yang berasal dari asap cair dapat
mempengaruhi flavor, pH dan umur simpan
makanan (Pszczola[2]). Senyawa asam
terutama asam asetat mempunyai aktivitas antimikrobia dan pada konsentrasi 5%
mempunyai efek bakterisidal. Asam asetat bersifat mampu menembus dinding sel
dan secara efisien mampu menetralisir gradien pH transmembran. Keasaman
(dihitung sebagai % asam asetat) asap cair dari berbagai kayu bervariasi antara
4,27-11,39% (Tranggono et al.[4]).
Peningkatan
sifat-sifat fungsional asap cair perlu dikembangkan melalui teknologi yang
dapat melindungi dengan cara mengenkapsulasi dalam suatu enkapsulan pada ukuran
yang sangat kecil pada skala nano yaitu berkisar antara 0-1000 nm (Carvajal et
al.;[9] Chaudhry et al.[10]). Dibandingkan dengan teknik mikroenkapsulasi, maka
nanoenkapsulasi produk pangan akan memberikan beberapa keunggulan diantaranya
dalam hal peningkatan rasa, warna, tekstur, flavor, konsistensi produk,
absorpsifitas dan ketersediaan komponen bioaktif (Greiner[11]). Pemilihan
enkapsulan untuk mendapatkan ukuran nano sangat menentukan keberhasilan
nanoenkapsulasi, selain itu enkapsulan harus food grade dan GRAS (Anal, 2010).
Diantara enkapsulan yang memenuhi criteria tersebut adalah kitosan dan
maltodekstrin (Wandrey et al.[13]). Kitosan telah dikembangkan sebagai pengawet
alami menggantikan formalin karena mampu menginaktifkan bakteri patogen seperti
Staphylococcus aureus (Darmadji dan Izumimoto;[14] Kanatt et al.; Pranoto dan
Rakshit[15]), di samping itu kitosan mempunyai sifat sebagai antioksidan (Feng
et al.[16]), dan memberikan perlindungan terhadap inti (Honarkar dan
Barikani;[17] Kong et al.[18]). Sedangkan maltodekstrin mempunyai kelarutan
tinggi, tidak mempunyai rasa dan aroma. (Desobry et al.;[19] Tax et al.;[20]
Righetto and Netto[21]). Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat meningkatkan kadar fenol dan antosianin
selama pengolahan tepung ubi jalar ungu (Ahmed et al.[22]).
Kombinasi
kitosan dan maltodekstrin pada proses enkapsulasi diharapkan akan menghasilkan
enkapsulan yang berdimensi nano. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian
tentang enkapsulasi asap cair tempurung kelapa berbasis teknologi nanopartikel.
Diharapkan, nanokapsul yang dihasilkan
dari kombinasi redistilat asap cair
dan kitosan akan mempunyai daya pengawet yang tinggi dan memudahkan pilihan
dalam pengawetan pangan yang aman dan alami.
BAB II. METODOLOGI
A. Bahan
dan alat
Tempurung
kelapa diperoleh dari limbah hasil olahan kopra di beberapa sentra di Provinsi
DIY yang diproses menjadi asap cair di PT. Tropica Nucifera Industry
Sleman-Yogyakarta. Kitosan (DD 91,5%) dari PT. Biotech Surindo, Cirebon.
Maltodekstrin (DE 10,8%)
dari Grain Processing Corp. (Iowa,
USA). Bahan kimia yang digunakan antara lain H2SO4 72%, 1 N larutan fenol
standar, Na2CO3 jenuh, pereaksi Folin-Ciocalteu, asam asetat, Sodium
tripolyphosphate (TPP) (Sigma Co., St. Louis), aseton, 2,4
dinitrofenilhidrazin, HCl pekat, KOH 1 N, asam oksalat, indikator PP (1% dalam
methanol) dan NaOH 0,1 N.
Alat-alat
ekstraksi, pirolisator, destilator, penyaring vakum, sentrifius tipe Damon/IEC,
spektrofotometer UV-Vis Shimadzu
1601 dan ultra turrax homogenizer T50 IKA WERKE, Water bath merk Julanbo, buret
dan statifnya, pH meter Schott, dan peralatan gelas untuk analisis.
B. Cara
Penelitian
Pembuatan
redistilat asap cair dari tempurung kelapa melalui proses pirolisis dengan suhu
400˚C, dan kondensasi hingga tidak terdapat lagi asap cair yang menetes.
Pemisahan asap cair dari tar dilakukan melalui pengendapan selama 24 jam.
Setelah itu, crude asap cair yang dihasilkan didistilasi menggunakan distilator
pada suhu 98˚C. Distilat asap cair yang dihasilkan
dilakukan proses redistilasi pada
suhu 98˚C. Redistilat asap cair yang diperoleh diidentifikasi profil senyawa
penyusun meliputi kadar fenol (Senter[23]), total asam, pH (titrasi, AOAC,
2008), karbonil (Lappin dan Clark[24]), dan profil senyawa asap cair (GC-MS)
menggunakan metode Tonogai et al.[25] yang telah dimodifikasi.
C. Rancangan
Percobaan
Penelitian
ini dilakukan di Laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yaitu
menggunakan perlakuan perbandingan enkapsulan (maltodekstrin dan kitosan)
dengan redistilat asap cair (total padatan 10%). Adapun perbandingan tersebut
terdiri 5 perlakuan yaitu:
1. F1 = Asam asetat 1,0%: kitosan
(0,5%): maltodekstrin (9,5%)
2. F2 = Redistilat asap cair:
kitosan (0%): maltodekstrin (10,0%)
3. F3 = Redistilat asap cair:
kitosan (0,5 %): maltodekstrin (9,5%)
4. F4 = Redistilat asap cair:
kitosan (1,0 %): maltodekstrin (9,0%)
5. F5 = Redistilat asap cair:
kitosan (1,5 %): maltodekstrin (8,5%)
Dispersi
nanopartikel kontrol dan asap cair tersebut ditambahkan TPP 1,0% kemudian
dilakukan pemanasan menggunakan water bath (pada suhu T1 = 40˚Cdan T2
= 50˚C) selama 30 menit, perlakuan tanpa pemanasan digunakan sebagai kontrol,
kemudian larutan dihomogenisasi menggunakan ultra thurax homogenizer pada
kecepatan homogenisasi 4000 rpm selama 2,5 menit. Parameter yang dianalisis
adalah total fenol, total karbonil, dan total asam. Setiap kombinasi perlakuan
yang dicobakan diulang 3 (tiga) kali. Data parameter yang diperoleh dianalisis
secara statistik menggunakan MINITABS 16.0 dengan metoda OneWay Anova dengan
uji jarak Tukey dengan tingkat signifikansi 5% (Trihendradi, 2009).
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis komponen redistilat
asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada TABEL
1.
Komponen
|
Kandungan
|
Benzopyrene
(ppm)
|
Tidak
Terdeteksi
|
Fenol
(%)
|
2,08
|
Karbonil
(%)
|
10,83
|
Total
Asam (%)
|
997
|
pH
|
2,54
|
Sedangkan
Profil komponen senyawa volatil dari redistilat asap cari tempurung kelapa yang
dianalisis menggunakan GC-MS disajikan pada GAMBAR 1.Dari TABEL
1 menunjukan bahwa redistilat asap cair yang digunakan komponen benzopyrene
tidak terdeteksi dalam kadar ppm yang mengindikasikan bahwa redistilat asap
cair tidak bersifat karsinogen. Sedangkan komponen lain seperti fenol,
karbonil, asam dan Ph kandungannya berada pada kisaran kandungan kayu keras
seperti Jati, Mahoni, Kamper, Bengkirai (Tranggono et al., 1999) dan pada tempurung
kelapa hibrida (Kadir et al., 2012).

dan hasil
identifikasi GC-MS senyawa volatil redistilat asap cair tempurung kelapa
disajikan pada TABEL 2.
NO.
|
Nama Senyawa
|
Relatif Komponen (%)
|
Berat
Molekul
|
Rumus Molekul
|
Indeks
Kemiripan
|
1
|
Metil
Asetat
|
5,00
|
74
|
C3H6O2
|
96
|
2
|
Metanol
|
16,22
|
32
|
CH4O
|
98
|
3
|
Nikel
Karbonil
|
0,15
|
170
|
C4Ni8O4
|
90
|
4
|
2,3-
Pentanol
|
0,47
|
86
|
C5H10O
|
85
|
5
|
1,2-Hidroksi
propan
|
1,80
|
74
|
C3H6O2
|
97
|
6
|
1,2-
Siklopentan
|
0,75
|
82
|
C5H6O
|
91
|
7
|
1,2-
Hidroksi Butan
|
1,82
|
88
|
C4H8O2
|
89
|
8
|
Etil
Asetat
|
49,78
|
60
|
C2H4O2
|
99
|
9
|
2-
furan karboksil aldehid
|
1,47
|
96
|
C5H4O2
|
97
|
10
|
1,2-
furanil etanon
|
0,21
|
110
|
C6H6O2
|
90
|
11
|
Asam
propanoat
|
1,44
|
74
|
C3H6O2
|
88
|
12
|
2-
Metoksi fenol
|
2,15
|
124
|
C7H8O2
|
94
|
13
|
1,4-
Dimetoksi benzene
|
0,53
|
138
|
C8H10O2
|
89
|
14
|
Fenol
|
17,11
|
94
|
C6H6O
|
95
|
15
|
4-etil,
2- metoksi fenol
|
0,16
|
152
|
C9H1202
|
86
|
16
|
4-Metoksi
fenol
|
0,61
|
108
|
C7H8O
|
89
|
17
|
2-Metoksi
fenol
|
0,33
|
108
|
C7H80
|
85
|

Hasil
interpretasi komponen volatil dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis
spectrometer massa setiap sampel dengan data base komputer yakni Wiley7Nist05
yang menyimpan sejumlah besar data spektra massa dari senyawa murni yang telah
diketahui.
Dari hasil terebut, senyawa yang
menyusun komponen asap cair pada delapan menit pertama didominasi oleh metil
asetat, metanol, hidroksi propan, hidroksi butan dan etil asetat. Hasil
analisis komponen fenol, karbonil dan asam dari redistilat asap cair tempurung
kelapa setelah diproses menggunakan teknologi nanopartikel yaitu penambahan
kitosan dan maltodekstrin pada berbagai formulasi disajikan pada TABEL3.
Formulasi
Bahan |
Fenol
(%)
|
Karbonil
(%)
|
Asam
Asetat (%)
|
F1
|
0.00
a
|
0.00
a
|
1.71
± 0.09 a
|
F2
|
1.70
± 0.11 b
|
18.53
± 0.56 b
|
10.33
± 0.57 b
|
F3
|
1.67
± 0.11 c
|
16.50
± 0.49 c
|
10.11
± 0.53 b
|
F4
|
1.64
± 0.11 d
|
15.22
± 0.59 d
|
9.73
± 0.20 c
|
F5
|
1.63
± 0.11 d
|
13.87
± 0.29 e
|
9.29
± 0.33 d |
a;b;c;d;e Menunjukan nilai pada
kolom yang sama tidak berbeda nyata (p <0.05).
Senyawa
fenol di samping memiliki peranan dalam pembentukan warna dan aroma juga
menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri dan antioksidan. Pada formulasi
perlakuan F1 kandungan fenol tidak terdeteksi,karena
pada perlakuan ini kitosan dengan konsentrasi 0,5% dari total padatan 10%
dilarutkan dalam larutan asam asetat 1% sehingga di dalam larutan nanopartikel
tersebut tidak mengandung fenol. Demikian juga pada kandungan karbonilnya.
Sedangkan kandungan asam (sebagai % asam asetat) mengandung jumlah yang sedikit
dibandingkan perlakuan yang lain. Sebaliknya, pada
perlakuan F2 (redistilat asap cair) mengandung fenol lebih banyak dibandingkan
dengan perlakuan lain karena pada F2 tidak
terdapat penambahan kitosan, hanya penambahan maltodektrin sebanyak 10%.
Kandungan fenol untuk semua formulasi perlakuan lebih rendah dari asap cair
karena asap cair merupakan total dari fenol. Secara keseluruhan, semakin tinggi
konsentrasi kitosan terjadi kecenderungan penurunan fenol maupun karbonil. Hal
ini disebabkan kitosan mempunyai sifat sebagai adsorber yang dapat menyerap
komponen bioaktif sperti fenol dan karbonil yang larut dalam air
(Billmeyer[27]). Selain itu dengan adanya senyawa asam akan mempengaruhi
kandungan dari fenol. Asam dapat mengkatalisa fenol. Kelarutan fenol akan
meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan asam. Jika kadar asam tidak
cukup tinggi maka ada kemungkinan fenol yang terkatalisa akan sedikit sehingga
akan mempengaruhi kadar fenol.
Senyawa
karbonil (aldehid dan keton) berperan dalam pembentukan warna dan aroma pada
asap sedangkan efeknya pada cita rasa kurang menonjol. Warna produk asapan
disebabkan adanya interaksi antara karbonil dengan gugus amino (Girard[6]).
Kandungan senyawa karbonil dari furmulasi F2 mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingan perlakuan yang lain yaitu sebesar 18.53%. Hasil ini lebih tinggi
dari penelitian yang dilakukan oleh Tranggono et al.[4] pada tempurung kelapa
sebesar 13,28%.
Asam
merupakan senyawa yang berperan sebagai antibakteri dan juga memberi citarasa
produk asapan secara keseluruhan. Kadar asam tertinggi diperoleh dari formulasi
F2 (asap cair, tanpa kitosan dan maltodekstrin (10%) diikuti perlakuan lain
dimana persentase penambahan kitosan semakin tinggi. Kandungan asam didominasi
asam organik dengan 1 sampai 10 atom karbon merupakan penyusun asap secara
keseluruhan. Hanya asam beratom karbon satu sampai empat saja yang banyak
dijumpai pada fase uap dalam asap, sedang yang berantai 5 sampai 10 berada di
fase partikel asap (Porter et al.[28]). Jadi asam-asam format, asetat,
propionat, butirat dan isobutirat terdapat pada fase uap asap, sedang asam-asam
valerat, isovalerat, kaproat, heptilat, nonilat dan kaprat berada di fase
partikel asap. Menurut Tilgner et al.[28] dalam Girard,[6] jumlah asam
merupakan 40% dari distilat kondensat asap.
Asam-asam
yang ada di dalam distilat asap cair meliputi asam format, asetat, propionat,
butirat, valerat dan isokaproat. Asam-asam yang berasal dari asap cair dapat
mempengaruhi flavor, pH dan umur simpan makanan (Pszczola[2]). Senyawa asam
terutama
asam asetat mempunyai aktivitas
antimikrobia dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal.



Dari GAMBAR
3 menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam ukuran dan bentuk.
Nanocapsules dari kitosan menunjukkan penyusutan dan berlesung pipit, sementara
asap cair asli menunjukkan bentuk bulat, permukaan halus tanpa penyok yang
jelas, dan campuran bubuk asap cair menunjukkan bentuk bola dengan luas
permukaan penyok. Pembentukan permukaan penyok semprot-kering partikel ini
disebabkan oleh penyusutan partikel selama proses pengeringan (Chin et al.[30]). Yang luas penyok
permukaan kitosan asli dalam larutan asam asetat itu mungkin disebabkan granula
maltodexrtin terganggu mengakibatkan lebih rentan terhadap penyusutan selama
tahap pengeringan. Patel et al.[31] menyarankan bahwa partikel semprot kering
dalam bentuk bola memiliki rasio tinggi permukaan/volume menunjukkan karakter yang tepat dari produk kering
semprot. Reineccius[32] merekomendasikan bahwa partikel dalam bentuk bola dapat
mempertahankan jumlah tertinggi bahan terkapsul.
Dalam
penelitian ini, dapat disarankan dari mempertimbangkan bentuk bubuk yang
kitosan dan maltodekstrin adalah bahan dinding yang tepat. Distribusi ukuran
partikel bubuk CS dan MD nanopartikel ditunjukkan pada GAMBAR 4.


Rata-rata ukuran partikel yang terbentuk dari CS (0,5% b/v) + MD (9,5% b/v)
dalam asam asetat adalah 16.21 nm, hanya MD (10% b/v) dalam asap cair tempurung
kelapa diamati 14,87 nm, dan CS (1,5% b/v) + MD (8,5% b/v) dalam asap cair
tempurung kelapa diamati 13,43 nm. Dalam proses ionik pembentukan nanopartikel
CS adalah pH responsif, memberikan kesempatan untuk memodulasi sifat
nanopartikel CS. Perbedaan potensial zeta dengan perubahan pH menunjukkan, pada
pH yang lebih tinggi partikel lebih cross-linked dibandingkan dengan pH rendah.
Zhang et al.,[33] mengamati, ketika komersial chitosan berat molekul rendah
digunakan untuk menyiapkan nanopartikel CS pada konsentrasi 0,1% (b/b) dari CS
dan TPP (berat rasio 5:1) menghasilkan distribusi ukuran partikel bimodal dari
kisaran 153 dan 500 nm. Interaksi antara kelompok fenolik asap cair dan
kelompok amino dari CS (lebih gugus fosfat dari TPP) dapat menyebabkan
penurunan kepadatan silang (Hu et al.[34]).
BAB IV. KESIMPULAN
Kandungan fenol, karbonil dan asam
cenderung semakin menurun dengan semakin tingginya prosentase penambahan
kitosan, namun enkapsulasi redistilat asap cair tempurung kelapa berbasis
teknologi nanopartikel masih menghasilkan kisaran komponen bioaktif dari
redistilat asap cair semula.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Maga, J., 1987. Smoke and Food
Processing. CRC Press Inc., Florida.
[2] Pszczola, D.E., 1995, Tour
Highlight Production and Uses of Smoke Based Flavors, Food Tech, 49 (1): 70-74.
[3] Foster, W.W. and T. H. Simpson,
1961. Studies of The Smoking Process For
Foods I: The Importance of Vapours. J. Sci. Food Agric.. Vol. 12 (5): 363-374.
[4] Tranggono; Suhardi; B. Setiadji;
P. Darmadji; Supranto dan Sudarmanto, 1999. Identifikasi Asap Cair dari
Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol
1 No. 2.
[5] Hogan dan Hartson, 1999. Office
of Premarket Approval Center for Food Safety and Applied Nutrition Food and
Drug Administration 200 C Street SW Washington, D.C. 20204
[6] Girard, J.P., 1992. Technology
of Meat and Meat Products, Ellis Horwood, New York.
[7] Ruiter, A., 1979. Color of Smoke
Food. Food Tech., 33 (5): 54-63
[8] Barylko, N., and Pikielna, 1978.
Contribution of Smoke Compunds to Sensory Bacteriostatic and Antioxidative Effect
in Smoked Foods. Pure And Appl.Chem.,49: 1667-1671, Pergamon Press, Oxford
[9] Carvajal-Quintanilla, M.X.; B. H
Camacho-Diaz; L.S Meraz-Torres; J.J. Chanona-Perez; L. Alamilla- Beltran; A.
Jimenez-Aparicio; G.F. Gutierrez- Lopez. 2010. Nanoencapsulation: A New Trend
in Food Engineering Processing. Food Eng Rev 2: 39 -50
[10] Chaudhry, Q.; L. Castle and R.
Watkins, 2010. Nanotechnologies in Food. The Food and Environment Research
Agency. The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science Park,
Milton Road, Cambridge CB4 0WF, UK
[11] Greiner, R., 2009. Current and
projected applications of nanotechnology in the food sector. Nutrire: rev. Soc.
Bras. Alim. Nutr. = J. Brazilian Soc. Food Nutr., So Paulo, SP, v. 34, n. 1, p.
243-260.
[12] Anal, A. K., 2010.
Microencapsulation And Application In Delivery Of Bioactives In Foods.
Innovative Science: Agriculture And Food Edition: 34-40. ISSN 2009-3314
[13] Wandrey, C.; A. Bartkowiak and
S. E. Harding., 2010. Materials for Encapsulation. In Encapsulation
Technologies for Active Food Ingredients and Food Processing. Zuidam, N. J. and
V. A. Nedovic (Eds.). Springer New York Dordrecht Heidelberg London. pp. 31-100
[14] Darmadji, P., and Izumimoto,
M., 1994. Effect of Chitosan in Meat Preservation. Meat Sctenee 38: 243-254
[15] Pranoto, Y. dan S.K. Rakshit,
2008. Effect of Chitosan Coating Containing Active Agent on Microbial Growth,
Rancidity and Moisture Loss of Meatball During Storage. Agritech, Vol. 28 (4):
167-173.
[16] Feng, T.; Y. Du; J. Li; Y. Wei,
2007. Antioxidant activity of half N-acetylated water-soluble chitosan in
vitro. Eur Food Res Technol 225:133-138
[17] Honarkar, H. and M. Barikani,
2009. Applications of biopolymers I: chitosan. Monatsh Chem 140: 1403-1420
[18] Kong, M; X. G. Chen; K. Xing
and H. J. Park. 2010. Antimicrobial properties of chitosan and mode of action:
A state of the art review. International Journal of Food Microbiology 144:
51-63.
[19] Desobry, S. A., Netto, F.M. and
Labuza, T. 1997. Comparison of spray drying, drum drying, and freeze drying for
beta carotene encapsulation and preservation. Journal of Food Science 62: 1158-
1162.
[20] Tax, D.C.M.A., De Menezes,
H.C., Santos, A.B. and Grosso, C.R.F. 2003. Study of the microcapsulation of
camu-camu (Myrciaria dubia) juice. Journal of
Microcapsulation 20: 443-448.
[21] Righetto, A.M. and Netto, F.M.
2005. Effect of encapsulation materials on water sorption, glass transition,
and stability of juice from immature acerole. International Journal of Food
Properties 8: 337-346.
[22] Ahmed, M.; M. S. Akter; J. Lee,
and J. Eun, 2010. Encapsulation by spray drying of bioactive components,
physicochemical and morphological properties from purple sweet potato. Food
Science and Technology 43:1307-1312
[23] Senter, S.D.; J.A Robertson and
F.I. Meredith, 1989. Phenolic Compound of The Mesocarp of Cresthauen Peaches
During Storage and Ripening. J. Food Sci. 54: 1259-1268
[24] Lappin, G.R. and L.C. Clark,
1951. Colorimetric methods for Determination of Trace Carbonyl Compound.
Analytical Chemistry, 23: 541-542
[25] Trihendradi C., 2009. Step by
Step SPSS 17 Analisis Data Statistik. Andi Offset, Yogyakarta. [26] Kadir, S.,
Darmadji, P., Hidayat, C. and Supriyadi. 2012. Profile liquid smoke aroma of
coconut shell product at various temperatures using multistage distilation
vessel. Agritech 32: 105-109. [27] Billmeyer, Jr. F. W. 1994. Book of Polymer
Science, JohnWilley and Sons, Inc, Singapore.
[28] Porter, R.W., L.J. Bratzler and
A.M. Pearson.1965. Fractionation and Study of Compounds in Wood Smoke. J. Food
Sci., (30): 615-619
[29] Tonogai, Y.; S. Ogawa; M.
Toyoda; Y. Ito and M. Iwaida, 1982. Rapid Flourometric Determination of
Benzo(a)pyrene in Food. J. of Food Prot. Vol 45 (2): 139-142.
[30] Chin S, Nazimah SAH, Quek S,
Man YBC. 2010. Effect of thermal processing and storage condition on the
flavour stability of spray-dried durian powder. LWT-Food Science and Technology
43: 856-861 doi:10.1016/j.lwt.2010.01.001
[31] Patel RP, Patel MP, Suthar AM.
2009. Spray drying technology: an overview. Indian J. Sci Tech 2 (10): 44-47
[32] Reineccius GA. 1988.
Spray-drying of food flavors. In Risch SJ, Reineccius GS. (Eds.), Flavor
encapsulation. ACS Symposium Series, 370. P.55-66. Washington, DC: American
Chemical Society.
[33] Zhang H, Oh M, Allen C,
Kumacheva E. 2004. Monodisperse chitosan nanoparticles for mucosal drug
delivery. Biomacromolecules 5(6):2461-2468. doi: 10.1021/bm0496211
[34] Hu B, Pan C, Sun Y, Hou Z, Ye
H, Zeng X. 2008. Optimization of fabrication parameters to
produce chitosan-tripolyphosphate
nanoparticles for delivery of tea catechins. J Agric Food Chem
56(16):7451-7458. doi: 10.1021/jf801111c